Friday, October 2, 2015

Ketenangan dan Kedamaian dari ‘Life Worker’ Training

Kami bertiga (saya, Wazin dan Rera) mengikuti program Training of Trainer (ToT) Life Worker di Malaysia. Training ini diselenggarakan di kantor Akasha dari tanggal 17 s/d 30 Oktober 2013. Training ini semua sesinya sangat hebat dan menarik, dan memberikan pengetahuan baru bagi saya. Tetapi dua sesi yang lebih saya sukai yaitu sesi Sensitivity Training dan One On One (101).

Sensitivity Training mengajarkan kita lebih mengenal latar belakang keluarga kita dengan menjelaskan ‘Family Map’ kita. Di sesi ini, peserta diminta menjelaskan semua seluk beluk keluarga kita, mulai dari bagaimana kita diasuh oleh orang tua kita, silsilah urutan orang tua kita, masa kecil orang tua kita, saudara-saudara orang tua kita, bagaimana orang tua kita dulu diasuh oleh orang tuanya (kakek/nenek kita), bagaimana hubungan kita dengan orang tua kita sekarang, bagaimana hubungan orang tua kita dengan orang tuanya (kakek/nenek kita), dan juga saudara-saudaranya, dan lain sebagainya. Pokoknya semua isu yang terjadi di keluarga kita. Lebih banyak kita bisa menjelaskannya, itu lebih baik. Di sesi ini, saya lebih tahu siapa orang tua saya, apa saja yang membentuk mereka sekarang, kenapa beliau mempunyai karakter tertentu, dan saya lebih tahu bagaimana sikap saya terhadap mereka, seperti hanya menjadi saudara ke adik saya, Sunan, tidak seakan-akan menjadi ‘orang tua’ nya Sunan karena saya kakaknya.

Sesi One on 0ne (101) adalah sesi konseling. Ada yang menjadi client atau yang berkonsultasi, ada yang menjadi pendengar atau konselor. Di sesi ini saya bisa meluapkan langsung isu dalam hidup saya, bisa nangis dengan bebas karena ‘konselor’ sangat memperhatikan cerita saya dan merespon dengan baik.

Yang lebih penting lagi dari program ini yang saya pelajari adalah tentang Inner child dan Inner parent. Inner child dan Inner parent adalah dua sisi yang ada didalam diri kita. Inner child bisa difahami semua sesuatu yang ingin kita miliki atau lakukan di dunia ini. Innner parent adalah sisi pengontrol atau sisi yang mempertimbangkan apakah sesuatu itu baik untuk kita miliki atau kita lakukan, bagaimana cara melakukannya, apakah waktunya tepat, apakah sesuatu ini kalau kita lakukan merugikan orang lain atau tidak, dan semua hal yang berhubungan. Bagaimanapun, dua sisi ini adalah sisi yang harus kita seimbangkan. Jangan selalu memenangkan sisi Inner child kita, juga jangan hanya mendengarkan Inner parent kita.  Jadilah diri yang pure (murni/asli) seperti Inner child dan jadilah bijaksana dengan Inner parent kita.

Pelajaran yang lain yaitu tentang bagaimana saya melihat dan merespon segala sesuatu yang datang ke saya. Sering saya fokus meneliti orang lain, kalau ada sesuatu yang membuat saya kesal/tidak suka, atau saya sering bertanya, “Kenapa demikian? (tidak sesuai dengan harapan), padahal kan saya sudah begini? harusnya begini dong.. (sudah beres lah…)”, saya sering melihat ketidakberesan itu ada di orang lain, karena saya menganggap saya sudah melakukan peran saya dengan baik, berarti orang lain yang harus memperbaiki dirinya, bukan saya. Maka perasan tidak suka/marah/benci/kesal ke orang lain itu muncul. Atau kalau ini suatu pekerjaan,  dan saya sangat menyadari betapa pekerjaan ini harus berjalan dengan baik (perasaan sangat peduli terhadap pekerjaan tertentu), maka kalau pekerjaan ini tidak beres, sangat mudah sekali, saya akan mencari titik ketidakberesan itu dimana atau di siapa. Setelah belajar  Anger is a secondary feeling (marah adalah perasaan di lapisan kedua), saya sadar, yang menjadi motif marah/kesal adalah perasaan peduli atau sayang saya ke orang lain. Saya tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak baik/tidak saya inginkan ke teman/keluarga saya dan pekerjaan saya. Sekarang  langkah saya adalah saya akan pouse sejenak atau Quiet Time, “Sebenarnya ada apa dengan saya? Kenapa saya tidak suka? Apakah sebenarnya saya terlibat langsung dengan isu ini atau jangan-jangan cuma sentimental perasaan saya? Apakah sebenarnya saya juga berkontribusi dengan sesuatu yang tidak berjalan dengan baik ini? Apakah saya sudah bicara ke dia (teman/keluarga) maksud saya semuanya, mungkin saya cuma tidak faham maksud dia? Bagaimana cara saya menyampaikan maksud saya? Atau mungkin ada isu lain yang belum saya ketahui?” Dan lain-lain yang saya anggap penting untuk ditanyakan ke diri saya.  Kemudian setelah melalui proses ini, saya akan lebih tenang, setelah menyadari, “O… sebenarnya saya peduli ke dia, kalau peduli, kenapa saya mau marah? Kenapa tidak berbicara dengan baik? Dan mendengarkan dia dengan baik, sebenarnya apa?”. Kesimpulannya, sekarang saya lebih self-research center (lebih meneliti saya sendiri dari pada orang lain) dan ditindak lanjuti dengan mengajak bicara teman/keluarga yang bersangkutan, dengan begitu saya lebih terbuka mendengarkan dan menerima titik terang dari pembicaraan kita. Akhirnya saya menemukan ketenangan dan kedamaian dalam hidup saya.

 

Nur Hayati Syafii